Tiga pelukis itu hidup berjauhan satu sama lain. Abdullah menetap di Bandung (Jawa Barat), Wakidi di Padang (Sumatera Barat) sedangkan Pirngadi menetap di Jakarta. Mereka berkarya tanpa pernah saling bertemu satu sama lain dan kemungkinan juga tidak banyak mengetahui karya satu sama lainnya. Hanya saja, tema yang dilukis mirip yaitu berupaya menampilkan keindahan alam Indonesia.
Mazhab Hindia Molek (1925-1938) ini tumbuh dan berkembang hingga menjelang kedatangan bala tentara Jepang. Saat itulah sejumlah pelukis pribumi Indonesia sedang belajar di berbagai sekolah, menempa diri dan mulai berkarya secara pribadi. Alirannya sungguh berbeda dari para pelukis era Hindia Belanda. Hanya saja mereka belum menonjol saat itu, atau sibuk dalam pergerakan nasional.
Pelukis R Abdullah Suriosubroto adalah putera Dr Wahidin Sudirohusodo, perintis pergerakan nasional ”Budi Utomo”. Tetapi berlainan dengan ayahnya, Abdullah sama sekali tidak tertarik dengan dunia pergerakan, dia mengambil jalan hidup berbeda. Dia berkesempatan belajar di negeri Belanda mengikuti tujuan ayahnya supaya Abdullah menempuh studi kedokteran, tetapi sesuai kenyataannya Abdullah malah belajar seni lukis di Den Haag.
Dalam melukis pemandangan alam, Abdullah dan Wakidi nampak lebih produktif maupun berkemampuan dibanding dengan Pirngadi yang tersita oleh pekerjaan rutinnya sebagai ilustrator museum antropologi di Jakarta. Abdullah wafat pada 1914, namun pekerjaannya sebagai pelukis aliran realis-naturalis nantinya dilanjutkan oleh puteranya, Basoeki Abdullah (1915-1993).
Wakidi (1889-1979)
adalah pelukis berusia panjang. Wakidi yang orang tuanya asal Semarang,
namun dia sendiri lahir di Plaju, Sumatera Selatan ini memilih untuk
menetap di Sumatera Barat. Dia memperoleh pendidikan di Kweekschool
(Sekolah Pendidikan Guru) yang berdiri sejak 1837 di Bukittinggi. Di
sekolah inilah Wakidi mendalami pelajaran menggambar dan melukis (1903).
Mengingat
kemampuan luar biasa yang dimiliki Wakidi di usia mudanya, setamat
disana, dia memperoleh tawaran menjadi guru lukis dan menggambar untuk
membina dan mengasuh anak-anak pribumi yang menempuh pendidikan di Kweekschool. Diantara murid Wakidi tercatat tokoh proklamator Bung Hatta dan mantan Ketua MPRS Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.
Tidak
hanya di Kweekschool, beberapa tahun kemudian Wakidi ditawari menjadi
guru di INS Kayutanam, yang didirikan M. Syafei pada tahun 1926. Di INS
Wakidi ternyata juga disukai dan disenangi puluhan bahkan ratusan murid
dan pengikut-pengikutnya.
Diantara murid-muridnya terdapat tokoh berkesinambungan yang berkiprah dalam peta seni lukis nasional seperti Baharuddin
MS, Syamsul Bahar, Mara Karma, Hasan Basri DT. Tumbijo, Nasjah Jamin,
Montingo Busye, Zaini, Nashar, Ipe Makruf, Alimin Tamin, Nuzurlis Koto,
Arby Samah, Muslim Saleh, Mukhtar Apin, AA Navis, Mukhtar Jaos, Osmania dan banyak lagi hingga ke tokoh-tokoh muda saat ini.
Adapun
Basoeki Abdullah (1915-1993) memang tak pernah melihat wajah sang ayah.
Namun setelah dewasa Abdullah yunior ini bertekad melanjutkan garis
karya ayahnya. Dia menyelesaikan studinya di sekolah Katolik Solo untuk kemudian melanjutkan pendidikan seni lukisnya di Academic Voor Beldeende Kunsten sebagaimana mendiang ayahnya. Sebagai penganut mazhab Hindia Molek, dia bertindak lebih maju.
0 komentar:
Posting Komentar